Refleksi Kepemimpinan Muhammad SAW: Aktualisasi Islam Rahamatan lil Alamin

Oleh: Abd. Ghani, M.Pd.I

Islam bukan kostum drama, sinetron-sinetron yang penuh dengan kepalsuan, bukan juga serial komedi sebagai bahan tertawaan, film pembantaian dan horor yang menakutkan, atau tayangan-tayangan televisi Ramadhan yang menjanjikan. Islam itu substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal dari “agama” lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khazanah tradisi. Namun sebagai sebuah keseluruhan entitas, Islam hanyalah sama dengan Islam.

Islam memiliki landasan iman, sehingga dengan keimanan mereka takut untuk melakukan sesuatu yang tidak di sukai Tuhan. Maka pemeluknya bernama “Mu’min (Muslim yang Mu’min)”, dan orang Mu’min harus memberikan jaminan ‘Aman’ bagi siapapun yang ada disekitarnya. Artinya, Islam menanamkan iman agar pemeluknya menjadi mu’min yang memberikan rasa aman.

Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya masing-masing untuk menciptakan Islam rahmatan lil alamin, meski endingnya masih terjebak dengan kepentingan umat Islam itu sendiri. Bukan misi kemanusiaan universal, melainkan rahmatan lil muslimin saja, apalagi hanya rahmat untuk kelompok-kelompoknya sendiri. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan “islamisasi”, “dakwah Islam”, “syiar Islam”, bahkan perintisan pembentukan “Negara Islam Indonesia” ­‑ yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing.

Islam bisa hanya disobek-sobek, dan diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi seseorang karena enak serta sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi subyektif seseorang sesudah hidupnya ia penuhi dengan pelanggaran-pelanggaran kemunusiaan yang tidak diinginkan dalam Islam.

Islam bisa hanya diambil sebagai ikon untuk mengkamuflase kekufuran, kemunafikan, kemalasan pengabdian, korupsi atau keculasan. Islam bisa dipakai untuk menipu diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja: yang penting saya sudah tampak tidak kafir, sudah merasa diri bergabung dengan training shalat, sudah kelihatan di mata orang lain bahwa saya bagian dari orang yang mencari sorga, berdzikir, ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih bagaikan pasukan Malaikat Jibril.

Pencitraan seperti inilah yang dilakukan oleh politisi saat ini, dari memoles diri agar seperti pemimpin yang dipandang ideal, hingga sampai pada tingkat prostitusi ibadah yaitu berani membayar beberapa media agar meliput dirinya dalam segala macam bentuk ibadah yang dilakukan. Rakyat menjadi terkagum-kagum, para ustad terlibat kampanye, bahkan malaikatpun hampir tertipu kecuali Allah. Maka jadilah ia pemimpin yang mengayomi fansnya sendiri, menyejahterakan golongannya saja. Padahal seorang pemimpin harus berpegang teguh pada konsep rahmatan lil alamin yang mencitai seluruh rakyat tanpa memandang dari kelompok mana, dan agama mereka.

Mestinya kita belajar kepada tokoh utama umat Islam, pemimpin yang dirindukan oleh seluruh rakyat seperti Nabi Muhammad SAW. Selain seorang Nabi dan Rasul, Dia adalah pemimpin yang memiliki keimanan yang kuat, sehingga dapat menciptakan keamanan kepada seluruh rakyatnya. Apapun latar belakang dari rakyat tersebut, baik muslim ataupun non muslim, semua terjamin keamanannya. Setidaknya memberikan keamanan pada tiga hal – yaitu nyawa rakyatnya, harta rakyatnya, dan martabat rakyatnya. Tidak ada dalam sejarah bahwa adanya Muhammad sebagai pemimpin menjadi ancaman atas kehidupan rakyatnya, harta rakyat tidak akan di korupsi, dan Muhammad tidak pernah menjelek-jelekkan rakyat yang jelas-jelas memusuhinya.

Coba kita lihat kembali proses pembebasan atau penaklukan kota Mekkah, Nabi Muhammad SAW melakukan suatu tindakan yang amat bijaksana, yaitu memerintahkan kepada para sahabatnya untuk tidak merusak dan mengotori kota Mekkah dengan peperangan. Kedatangan pasukan Islam yang amat besar ini dipergunakan oleh Nabi SAW sebagai strategi perang urat syaraf dan hanya untuk memberi peringatan kepada orang-orang kafir Quraisy bahwa umat Islam telah bangkit dan mereka akan menjadi masyrakat yang maju dan menjaga prinsip rahmatan lil alamin.

Sebelum memasuki kota Mekkah, Muhammad SAW memerintahkan kepada para sahabat dan pasukannya untuk berkemah di dekat kota Mekkah. Hal ini dilakukan sebagai salah satu strategi politiknya yang santun dalam rangka persiapan penaklukan kota Mekkah. Melihat kenyataan ini, paman Muhammad yang bernama Abbas bin Abdul Muthalib datang menemui Nabi dan menyatakan keislamannya. Kemudian sesudah itu, Abu Sufyan juga mendatangi Nabi dan menyatakan keislamannya di hadapan Muhammad SAW dan umat Islam.

Setelah Abu Sufyan memeluk agama Islam, Muhammad SAW memberikan kepercayaan kepada Abu Sufyan bin Harb untuk menjadi perantara dengan masyarakat Quraisy lainnya, karena memang ia ditunjuk sebagai wakil masyarakat Quraisy dalam persoalan keselamatan mereka dan kota Mekkah dari kemungkinan terjadinya serangan yang akan dilakukan umat Islam. Dalam hal ini, tentu Nabi Muhammad SAW memberikan keamanan penuh kepada Abu Sufyan dan keluarganya dengan menyarankan bahwa siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan akan selamat, orang yang masuk masjid juga akan selamat, begitu juga mereka yang menutup pintu rumahnya rapat-rapat akan selamat. Adanya pernyataan Nabi ini merupakan suatu bukti bahwa seorang pemimpin harus menjamin keamanan kepada seluruh rakyatnya, sehingga terciptalah kenyamanan dan kedamaian.

Sesampainya di kota Mekkah, Abu Sufyan menyampaikan pesan perdamaian kepada orang-orang Quraisy dan langkah-langkah kebijaksaan Nabi. Oleh karena itu, akhirnya kaum kafir Quraisy mengetahui bahwa Abu Sufyan telah masuk Islam, dan orang-orang Quraisy lainnya mengikuti jejak Abu Sufyan dengan menyatakan diri sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW dan menjadi muslim. Abu Sufyan kemudian menyampaikan pesan perdamaian yang dibawanya dari Nabi SAW dan pasukannya ketika umat Islam memasuki kota Mekkah.

Langkah persiapan yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW membuat pasukannya tiba di Mekkah tanpa perlawanan. Nabi dan umat Islam masuk dengan damai, tanpa setetes pun darah mengalir. Itu adalah kemenangan besar umat Islam dalam sejarah. Dan penaklukan mekkah ini disebut dengan Fathu Makkah, yang diabadikan dalam al-Qur’an sebagai Fathan Mubina (kemenangan yang nyata) yang terjadi pada Bulan Ramadhan, tepatnya pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah.[1] Pasukan Islam dari Madinah merebut kembali kota Makkah. Di izinkan Allah memperoleh kemenangan besar. Ribuan tawanan musuh diberi amnesti massal.

Nabi Muhammad berpidato kepada ribuan tawanan perang: “…hadza laisa yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaq…”. Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing. Sesungguhnya pasukan Islam mendengar pidato itu merasa shock. Berjuang hidup mati, diperhinakan, dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan sudah di genggaman: malah musuh dibebaskan. Itu pun belum cukup. Muhammad SAW memerintahkan perampasan perang, berbagai harta benda, dan ribuan onta dibagikan kepada para tawanan.

Sementara pasukan Islam tidak memperoleh apa-apa, sehingga mengeluh dan memproteslah sebagian pasukan Islam kepada Rasulullah. Mereka dikumpulkan dan Muhammad SAW bertanya: “Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku?” Mereka menjawab: sekian tahun, sekian tahun. “Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau tidak mencintai kalian?”.

Tentu saja sangat mencintai. Muhammad SAW mengakhiri pertanyaannya: “Kalian memilih mendapatkan onta ataukah memilih cintaku kepada kalian?”. Maka menangislah mereka karena cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa dibandingkan bahkan dengan bumi dan langit. Tentu saja, andai kita berada di situ sebagai bagian dari pasukan Islam, kelihatannya kita akan menjawab agak berbeda: “Sudah pasti kami memilih cinta Rasulullah, tapi kalau boleh mbok ya juga diberi onta dan emas barang segram dua gram gitu…?”.

Inilah peristiwa-peristiwa penting dalam proses penaklukan kota Mekkah. Langkah dan kebijaksanaan Nabi SAW dalam pembebasan kota Mekkah patut menjadi contoh bagi manusia dan para pemimpin lainnya, bahwa perebutan kekuasaan tidak harus dengan peperangan dan kecurangan, tapi bisa juga dilakukan dengan cara damai, santun, dan tidak merugikan orang lain.


[1] Murodi, MA, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2009, hal. 11


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *